BUMN
Perdebatan tentang sosok badan usaha milik
Negara tampaknya semakin hari semakin meluas dimensinya. Perdebatan itu sendiri
ternyata bukan hanya terjadi di pengadilan ketika para penegak hukum dihadapkan
pada kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh para pejabat di
suatu badan usaha milik Negara, melainkan juga terjadi di berbagai lini.
Belakangan, keterlibatan para akademisi dari
berbagai universitas dan juga kelompok-kelompok masyarakat pada umumnya tampak
mulai menunjukkan intensitasnya. Yang mengagumkan, adalah bahwa perdebatan itu,
sebagaimana baru-baru ini terjadi, dipicu pula oleh pernyataan para pejabat di
tingkat eksekutif, yang justru dimulai ungkapannya dari Presiden sendiri ketika
terjadi kisruh penetapan harga gas untuk rakyat yang diproduksi oleh Pertamina.
Walaupun, bila diperhatikan, motif yang
dijadikan pemicu pedebatan tersebut berbeda-beda, toh tetap saja memberikan
kesimpulan yang sama. Yaitu, bahwa banyak pihak ternyata tidak memahami apa
sebenarnya yang dimaksud dengan badan usaha milik Negara.
Perlunya
sebuah institusi usaha milik negara
Dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan
Negara, para ahli hampir seluruhnya sepakat bahwa kebutuhan masyarakat terhadap
layanan publik (pemerintah), pada hakekatnya, tidak seluruhnya dapat disediakan
melalui system yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah yang bersifat
struktural dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar harga non
pasar (non market pricing mechanism). Jelasnya, bahwa kebutuhan masyarakat
terhadap barang dan jasa yang tergolong barang dan jasa publik tersebut bukan
saja yang bersifat dasar, melainkan juga barang dan jasa publik yang bersifat
alternatif. Dan pastinya, barang dan jasa publik dimaksud bukan merupakan
barang dan jasa yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam kedudukannya
selaku otoritas.
Dengan kata lain, masyarakat membutuhkan
berbagai jenis barang dan jasa publik yang tidak dihasilkan oleh unit-unit
struktural kementerian/ lembaga. Yaitu, barang dan jasa yang produksinya tidak
dibiayai melalui system anggaran Negara. Dengan melihat karakteristiknya,
barang dan jasa yang dihasilkan oleh Pemerintah tersebut harus dijual kepada
masyarakat dengan menggunakan harga yang dihitung atas dasar rasionalitas
ekonomi.
Pertimbangan ini perlu, mengingat barang dan
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut, di satu sisi, bukan merupakan
kebutuhan dasar masyarakat, dan di sisi lain, hanya dibutuhkan oleh masyarakat
tertentu. Ini penting, karena mengingat prinsip keadilan dalam pemberian
layanan kepada masyarakat.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas,
kemudian pemerintah perlu membentuk suatu institusi dengan karakter seperti
layaknya institusi swasta. Institusi inilah yang di kemudian hari dikenal luas
dengan istilah badan usaha milik negara (public enterprise).
Disamping pendekatan melalui kebutuhan
masyarakat tersebut di atas, dalam kehidupan bernegara modern, ternyata, secara
makro, peran pemerintah diperlukan pula dalam mendorong perkembangan
perekonomian nasional melalui system distribusi dan stabilisasi. Sementara itu,
secara khusus, dilihat dari sisi keuangan negara, pendirian badan usaha milik
negara tersebut diharapkan pula akan merupakan sumber penerimaan Negara.
Sementara itu, terdapat sebuah kenyataan lain.
Yaitu, bahwa di Negara-negara yang sedang berkembang, perusahaan Negara justru
merupakan alat pemerintah untuk dapat mewujudkan perannya secara utuh. Salah
satu alasannya adalah karena adanya ketidaksempurnaan mekanisme pasar di
Negara-negara itu sendiri. Di sisi lain, adalah karena adanya kecenderungan
Negara-negara tersebut untuk menganut faham Negara kesejahteraan (welfare
state) yang mengarah pada pola masyarakat sosialis.
Antara
kepemilikan dan pengendalian
Bila diamati, perdebatan yang terjadi selama
ini yang mem- permasalahkan apakah suatu institusi usaha (perusahaan) merupakan
milik Negara atau bukan, ternyata menggunakan ukuran yang berbeda. Oleh sebab
itu, sulit kiranya dapat diharapkan adanya suatu titik temu untuk mendapatkan
kesamaan pandangan. Lebih dari itu, berbagai pihak justru membuat rancu
permasalahan dengan membuat pengertian di luar konteks, misalnya, dari sudut
pandang hukum perdata ataupun hukum bisnis.
Di dalam konteks ekonomi ataupun keuangan
sendiri, dapat dilihat bahwa terdapat pihak-pihak yang menggunakan definisi
yang begitu populer pada tahun 1980-an. Yaitu, sebuah definisi yang lahir
setelah terjadinya berbagai debat panjang di tingkat internasional. Definisi
tersebut, pada prinsipnya, menyatakan bahwa suatu perusahaan merupakan milik
Negara bilamana lebih dari 51 persen saham perusahaan tersebut dimiliki Negara.
Bila dicermati, jelas bahwa definisi tersebut
mendasarkan pada suatu pendekatan dari sisi kepemilikan. Bukan dari sisi
pengendalian (control). Dengan menggunakan alur logika yang digunakan dalam
definisi di atas, ternyata menghasilkan kesimpulan yang di luar dugaan.
Ambil saja contoh misalnya terdapat tiga
perusahaan, yaitu perusahaan X, Y, dan Z, yang saling memiliki keterhubungan
dalam kepemilikannya. Katakanlah, perusahaan Y memiliki lebih dari 51 persen
saham perusahaan X, sedangkan saham perusahaan Y sebesar lebih dari 51 persen
dimiliki oleh perusahaan Z. Apa yang dapat disimpulkan bilamana lebih dari 51
persen saham perusahaan Z tersebut dimiliki oleh Pemerintah ?
Secara matematis, kesimpulannya adalah bahwa
ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan milik Negara. Selanjutnya,
masih dengan menggunakan alur pikir tersebut, ketiga perusahaan dimaksud akan
berada di bawah kendali pemerintah. Walaupun, bila diperhatikan, ternyata
kepemilikan pemerintah terhadap perusahaan Y hanya sekitar 26 persen, dan
terhadap perusahaan X hanya sekitar 13 persen.
Dengan mengacu pada pola di atas, yang terjadi
kemudian adalah kemungkinan bahwa berbagai perusahaan swasta akan berada di
bawah kendali pemerintah. Atau sebaliknya, berbagai perusahaan pemerintah akan
berada di bawah kendali swasta. Kemungkinan yang terakhir inilah yang perlu
diwaspadai dari penerapan definisi tersebut tanpa pembatasan.
Padahal, menurut berbagai pihak, hanya dengan
menggunakan dasar kepemilikan itulah yang memungkinkan suatu perusahaan Negara
dinyatakan sebagai kekayaan yang terpisah.
Implementasinya di Indonesia
1. Milik
Rakyat
Tanpa harus memasuki wilayah yang mungkin
menimbulkan perdebatan tentang bentuk dan konsepsi kenegaraan yang dianut oleh
Indonesia, tampaknya Indonesia memiliki ciri-ciri Negara yang mengarah pada
sistem negara kesejahteraan. Hal ini dengan mudah dapat dilihat dari
Undang-undang Dasar 45 yang menjadi landasan kehidupan bernegara di Indonesia.
Dengan mengacu pada konsepsi perekonomian yang
tertuang dalam UUD 45, badan usaha milik negara, pada prinsipnya, adalah milik
rakyat. Ini dengan jelas dapat dilihat dalam pasal 33. Terkait dengan status
tersebut, keberadaan badan usaha milik Negara dalam sistem Keuangan Negara
harus dipahami dengan benar.
Kelembagaan perusahaan Negara, sebagai suatu
entitas publik, memiliki pola yang unik. Dengan status sebagai milik rakyat,
kewenangan terhadap kepemilikan assetnya sepenuhnya berada di tangan rakyat.
Dalam hal ini, pengertian rakyat adalah lembaga legislatif, yang secara
konstitusi merupakan lembaga yang mewakili rakyat. Namun untuk alasan praktis,
dalam hal tertentu, kewenangan dimaksud dilaksanakan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, sesuai dengan pemikiran
tersebut, di dalam organisasi pengelolaan badaan usaha milik negara kemudian
dikenal adanya dua kelompok manajemen (two tiers system). Yaitu, pertama,
merupakan kelompok pemilik (principal); kedua, merupakan kelompok pengelola
teknis. Dalam kelompok pertama hanya terdiri dari satu unsur yaitu pemerintah;
sedangkan dalam kelompok kedua terdiri dari dua unsur, yaitu: Pemerintah
sebagai wakil pemilik (acting principal), dan unsur pelaksana (agent).
Atas dasar pemikiran di atas, dalam sistem
pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia, khususnya untuk badan usaha milik
negara, kemudian dikenal adanya peran dua Menteri. Yaitu, Menteri Keuangan dalam
kedudukannya selaku Bendahara Umum Negara, sebagai pemilik (principal), dan
Menteri Negara BUMN sebagai pengendali teknis mewakili pemilik (acting
principal).
Dalam kaitan ini, perlu dipahami bahwa
pengertian perusahaan Negara (badan usaha miliki Negara) adalah sebuah
institusi pemerintah yang diciptakan secara khusus untuk memproduksi barang dan
jasa terkait dengan tugas dan kewajiban Negara terhadap masyarakat. Ini adalah
sebuah kata kunci (keyword).
Oleh karena itu, walaupun pendekatan dari segi
kepemilikan, merupakan landasan bagi suatu perusahaan untuk dapat dinyatakan
sebagai perusahaan milik Negara, tetapi faktor kepemilikan terhadap perusahaan
dimaksud belum tentu menjadikan perusahaan tersebut sebagai perusahaan Negara
sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang Dasar 45.
Hal ini dapat dilihat misalnya, karena alasan
tertentu, pemerintah harus menyelamatkan sebuah bank yang menghadapi kesulitan
likuiditas. Dalam kasus tersebut dapat saja pemerintah menyuntikkan dana yang
meliputi jumlah hampir setara 60% dari nilai saham. Namun demikian, dengan
mengacu pada konsepsi dasar pembentukan perusahaan Negara, bank tersebut
tentunya tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai perusahaan Negara.
2.
Pemerintah adalah Pengendali
Dengan mengacu pada konsep pemikiran tentang kelahiran
sebuah badan usaha milik negara di atas, perdebatan tentang badan usaha milik
Negara --terutama dari aspek status yang kemudian berlanjut ke arah aspek
pengelolaan assetnya-- yang selama ini berkembang di masyarakat, tidak
seharusnya terjadi.
Bila diamati, perdebatan tersebut terjadi hanya
karena berbagai pihak tidak memahami konsepsi yang dijadikan landasan pemikiran
tentang diciptakannya badan usaha milik Negara di republik ini. Perdebatan itu
sendiri, dalam kenyataan, diperparah oleh adanya motif tertentu berbagai pihak,
seperti misalnya yang terjadi pada saat ini, yaitu ingin terlepas dari jerat
korupsi. Motif inilah yang kemudian dikemas secara cantik dan disuarakan
melalui para ahli hukum. Di sisi lain, terdapat pula pihak-pihak tertentu yang
ingin menguasai badan usaha milik Negara dan menjadikannya sebagai badan usaha
milik kelompok tertentu.
Bila diperhatikan, secara historis, lahirnya
berbagai badan usaha milik Negara yang ada hingga saat ini selalu didasarkan
pada pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas. Ambil saja contoh, misalnya,
badan-badan usaha milik Negara di bidang transportasi, di bidang perminyakan,
di bidang tata niaga/ perdagangan, di bidang pengelolaan keuangan, dan masih
ada sederet badan usaha milik Negara yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Memang harus diakui bahwa di Indonesia
pertimbangan dari aspek sosio ekonomis Keuangan Negara yang menempatkan Negara
sebagai homo economien, tidaklah serta merta memposisikan Negara sebagaimana
layaknya pelaku ekonomis lainnya, yaitu individu. Oleh karena itu, tidaklah
pada tempatnya bila berbagai pihak kemudian memaksakan kehendaknya dengan
membuat perbandingan status badan usaha milik negara di Indonesia dengan status
perusahaan Negara di Negara lain, seperti misalnya, Australia, New Zealland,
ataupun Singapura.
Mengingat pemikiran-pemikiran Keuangan Negara,
secara prinsip, tidak terlepas dari pemikiran bagaimana usaha pemerintah
menyejahterakan rakyatnya, seharusnya masalah inilah yang diurai sebagai
landasan perbandingan. Konkritnya, ketika ingin dibuat suatu perbandingan,
penelusuran terhadap sistem perekonomian masing-masing Negara harus dilakukan
terlebih dahulu. Yaitu, misalnya, apakah suatu Negara menganut perekonomian
sistem kapitalis ataukah cenderung menerapkan sistem sosialis. Hal ini perlu
dilakukan agar perbandingan dimaksud benar-benar memiliki kesetaraan (apple to
apple).
Bila diperhatikan, secara historis, lahirnya berbagai badan usaha milik Negara yang ada hingga saat ini selalu didasarkan pada pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas. Ambil saja contoh, misalnya, badan-badan usaha milik Negara di bidang transportasi, di bidang perminyakan, di bidang tata niaga/ perdagangan, di bidang pengelolaan keuangan, dan masih ada sederet badan usaha milik Negara yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
ReplyDeleteMemang harus diakui bahwa di Indonesia pertimbangan dari aspek sosio ekonomis Keuangan Negara yang menempatkan Negara sebagai homo economien, tidaklah serta merta memposisikan Negara sebagaimana layaknya pelaku ekonomis lainnya, yaitu individu. Oleh karena itu, tidaklah pada tempatnya bila berbagai pihak kemudian memaksakan kehendaknya dengan membuat perbandingan status badan usaha milik negara di Indonesia dengan status perusahaan Negara di Negara lain, seperti misalnya, Australia, New Zealland, ataupun Singapura. Perusahaan BUMN Di Indonesia