Saturday, 30 July 2016

Makalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

BUMN
Perdebatan tentang sosok badan usaha milik Negara tampaknya semakin hari semakin meluas dimensinya. Perdebatan itu sendiri ternyata bukan hanya terjadi di pengadilan ketika para penegak hukum dihadapkan pada kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh para pejabat di suatu badan usaha milik Negara, melainkan juga terjadi di berbagai lini.



Belakangan, keterlibatan para akademisi dari berbagai universitas dan juga kelompok-kelompok masyarakat pada umumnya tampak mulai menunjukkan intensitasnya. Yang mengagumkan, adalah bahwa perdebatan itu, sebagaimana baru-baru ini terjadi, dipicu pula oleh pernyataan para pejabat di tingkat eksekutif, yang justru dimulai ungkapannya dari Presiden sendiri ketika terjadi kisruh penetapan harga gas untuk rakyat yang diproduksi oleh Pertamina.

Walaupun, bila diperhatikan, motif yang dijadikan pemicu pedebatan tersebut berbeda-beda, toh tetap saja memberikan kesimpulan yang sama. Yaitu, bahwa banyak pihak ternyata tidak memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan badan usaha milik Negara.

Perlunya sebuah institusi usaha milik negara

Dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara, para ahli hampir seluruhnya sepakat bahwa kebutuhan masyarakat terhadap layanan publik (pemerintah), pada hakekatnya, tidak seluruhnya dapat disediakan melalui system yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah yang bersifat struktural dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar harga non pasar (non market pricing mechanism). Jelasnya, bahwa kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa yang tergolong barang dan jasa publik tersebut bukan saja yang bersifat dasar, melainkan juga barang dan jasa publik yang bersifat alternatif. Dan pastinya, barang dan jasa publik dimaksud bukan merupakan barang dan jasa yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam kedudukannya selaku otoritas.

Dengan kata lain, masyarakat membutuhkan berbagai jenis barang dan jasa publik yang tidak dihasilkan oleh unit-unit struktural kementerian/ lembaga. Yaitu, barang dan jasa yang produksinya tidak dibiayai melalui system anggaran Negara. Dengan melihat karakteristiknya, barang dan jasa yang dihasilkan oleh Pemerintah tersebut harus dijual kepada masyarakat dengan menggunakan harga yang dihitung atas dasar rasionalitas ekonomi.

Pertimbangan ini perlu, mengingat barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut, di satu sisi, bukan merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dan di sisi lain, hanya dibutuhkan oleh masyarakat tertentu. Ini penting, karena mengingat prinsip keadilan dalam pemberian layanan kepada masyarakat.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, kemudian pemerintah perlu membentuk suatu institusi dengan karakter seperti layaknya institusi swasta. Institusi inilah yang di kemudian hari dikenal luas dengan istilah badan usaha milik negara (public enterprise).

Disamping pendekatan melalui kebutuhan masyarakat tersebut di atas, dalam kehidupan bernegara modern, ternyata, secara makro, peran pemerintah diperlukan pula dalam mendorong perkembangan perekonomian nasional melalui system distribusi dan stabilisasi. Sementara itu, secara khusus, dilihat dari sisi keuangan negara, pendirian badan usaha milik negara tersebut diharapkan pula akan merupakan sumber penerimaan Negara.

Sementara itu, terdapat sebuah kenyataan lain. Yaitu, bahwa di Negara-negara yang sedang berkembang, perusahaan Negara justru merupakan alat pemerintah untuk dapat mewujudkan perannya secara utuh. Salah satu alasannya adalah karena adanya ketidaksempurnaan mekanisme pasar di Negara-negara itu sendiri. Di sisi lain, adalah karena adanya kecenderungan Negara-negara tersebut untuk menganut faham Negara kesejahteraan (welfare state) yang mengarah pada pola masyarakat sosialis.

Antara kepemilikan dan pengendalian

Bila diamati, perdebatan yang terjadi selama ini yang mem- permasalahkan apakah suatu institusi usaha (perusahaan) merupakan milik Negara atau bukan, ternyata menggunakan ukuran yang berbeda. Oleh sebab itu, sulit kiranya dapat diharapkan adanya suatu titik temu untuk mendapatkan kesamaan pandangan. Lebih dari itu, berbagai pihak justru membuat rancu permasalahan dengan membuat pengertian di luar konteks, misalnya, dari sudut pandang hukum perdata ataupun hukum bisnis.

Di dalam konteks ekonomi ataupun keuangan sendiri, dapat dilihat bahwa terdapat pihak-pihak yang menggunakan definisi yang begitu populer pada tahun 1980-an. Yaitu, sebuah definisi yang lahir setelah terjadinya berbagai debat panjang di tingkat internasional. Definisi tersebut, pada prinsipnya, menyatakan bahwa suatu perusahaan merupakan milik Negara bilamana lebih dari 51 persen saham perusahaan tersebut dimiliki Negara.

Bila dicermati, jelas bahwa definisi tersebut mendasarkan pada suatu pendekatan dari sisi kepemilikan. Bukan dari sisi pengendalian (control). Dengan menggunakan alur logika yang digunakan dalam definisi di atas, ternyata menghasilkan kesimpulan yang di luar dugaan.

Ambil saja contoh misalnya terdapat tiga perusahaan, yaitu perusahaan X, Y, dan Z, yang saling memiliki keterhubungan dalam kepemilikannya. Katakanlah, perusahaan Y memiliki lebih dari 51 persen saham perusahaan X, sedangkan saham perusahaan Y sebesar lebih dari 51 persen dimiliki oleh perusahaan Z. Apa yang dapat disimpulkan bilamana lebih dari 51 persen saham perusahaan Z tersebut dimiliki oleh Pemerintah ?

Secara matematis, kesimpulannya adalah bahwa ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan milik Negara. Selanjutnya, masih dengan menggunakan alur pikir tersebut, ketiga perusahaan dimaksud akan berada di bawah kendali pemerintah. Walaupun, bila diperhatikan, ternyata kepemilikan pemerintah terhadap perusahaan Y hanya sekitar 26 persen, dan terhadap perusahaan X hanya sekitar 13 persen.

Dengan mengacu pada pola di atas, yang terjadi kemudian adalah kemungkinan bahwa berbagai perusahaan swasta akan berada di bawah kendali pemerintah. Atau sebaliknya, berbagai perusahaan pemerintah akan berada di bawah kendali swasta. Kemungkinan yang terakhir inilah yang perlu diwaspadai dari penerapan definisi tersebut tanpa pembatasan.

Padahal, menurut berbagai pihak, hanya dengan menggunakan dasar kepemilikan itulah yang memungkinkan suatu perusahaan Negara dinyatakan sebagai kekayaan yang terpisah.

Implementasinya di Indonesia

1. Milik Rakyat

Tanpa harus memasuki wilayah yang mungkin menimbulkan perdebatan tentang bentuk dan konsepsi kenegaraan yang dianut oleh Indonesia, tampaknya Indonesia memiliki ciri-ciri Negara yang mengarah pada sistem negara kesejahteraan. Hal ini dengan mudah dapat dilihat dari Undang-undang Dasar 45 yang menjadi landasan kehidupan bernegara di Indonesia.

Dengan mengacu pada konsepsi perekonomian yang tertuang dalam UUD 45, badan usaha milik negara, pada prinsipnya, adalah milik rakyat. Ini dengan jelas dapat dilihat dalam pasal 33. Terkait dengan status tersebut, keberadaan badan usaha milik Negara dalam sistem Keuangan Negara harus dipahami dengan benar.

Kelembagaan perusahaan Negara, sebagai suatu entitas publik, memiliki pola yang unik. Dengan status sebagai milik rakyat, kewenangan terhadap kepemilikan assetnya sepenuhnya berada di tangan rakyat. Dalam hal ini, pengertian rakyat adalah lembaga legislatif, yang secara konstitusi merupakan lembaga yang mewakili rakyat. Namun untuk alasan praktis, dalam hal tertentu, kewenangan dimaksud dilaksanakan oleh Pemerintah.

Oleh karena itu, sesuai dengan pemikiran tersebut, di dalam organisasi pengelolaan badaan usaha milik negara kemudian dikenal adanya dua kelompok manajemen (two tiers system). Yaitu, pertama, merupakan kelompok pemilik (principal); kedua, merupakan kelompok pengelola teknis. Dalam kelompok pertama hanya terdiri dari satu unsur yaitu pemerintah; sedangkan dalam kelompok kedua terdiri dari dua unsur, yaitu: Pemerintah sebagai wakil pemilik (acting principal), dan unsur pelaksana (agent).

Atas dasar pemikiran di atas, dalam sistem pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia, khususnya untuk badan usaha milik negara, kemudian dikenal adanya peran dua Menteri. Yaitu, Menteri Keuangan dalam kedudukannya selaku Bendahara Umum Negara, sebagai pemilik (principal), dan Menteri Negara BUMN sebagai pengendali teknis mewakili pemilik (acting principal).

Dalam kaitan ini, perlu dipahami bahwa pengertian perusahaan Negara (badan usaha miliki Negara) adalah sebuah institusi pemerintah yang diciptakan secara khusus untuk memproduksi barang dan jasa terkait dengan tugas dan kewajiban Negara terhadap masyarakat. Ini adalah sebuah kata kunci (keyword).

Oleh karena itu, walaupun pendekatan dari segi kepemilikan, merupakan landasan bagi suatu perusahaan untuk dapat dinyatakan sebagai perusahaan milik Negara, tetapi faktor kepemilikan terhadap perusahaan dimaksud belum tentu menjadikan perusahaan tersebut sebagai perusahaan Negara sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang Dasar 45.

Hal ini dapat dilihat misalnya, karena alasan tertentu, pemerintah harus menyelamatkan sebuah bank yang menghadapi kesulitan likuiditas. Dalam kasus tersebut dapat saja pemerintah menyuntikkan dana yang meliputi jumlah hampir setara 60% dari nilai saham. Namun demikian, dengan mengacu pada konsepsi dasar pembentukan perusahaan Negara, bank tersebut tentunya tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai perusahaan Negara.

2. Pemerintah adalah Pengendali

Dengan mengacu pada konsep pemikiran tentang kelahiran sebuah badan usaha milik negara di atas, perdebatan tentang badan usaha milik Negara --terutama dari aspek status yang kemudian berlanjut ke arah aspek pengelolaan assetnya-- yang selama ini berkembang di masyarakat, tidak seharusnya terjadi.

Bila diamati, perdebatan tersebut terjadi hanya karena berbagai pihak tidak memahami konsepsi yang dijadikan landasan pemikiran tentang diciptakannya badan usaha milik Negara di republik ini. Perdebatan itu sendiri, dalam kenyataan, diperparah oleh adanya motif tertentu berbagai pihak, seperti misalnya yang terjadi pada saat ini, yaitu ingin terlepas dari jerat korupsi. Motif inilah yang kemudian dikemas secara cantik dan disuarakan melalui para ahli hukum. Di sisi lain, terdapat pula pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai badan usaha milik Negara dan menjadikannya sebagai badan usaha milik kelompok tertentu.

Bila diperhatikan, secara historis, lahirnya berbagai badan usaha milik Negara yang ada hingga saat ini selalu didasarkan pada pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas. Ambil saja contoh, misalnya, badan-badan usaha milik Negara di bidang transportasi, di bidang perminyakan, di bidang tata niaga/ perdagangan, di bidang pengelolaan keuangan, dan masih ada sederet badan usaha milik Negara yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Memang harus diakui bahwa di Indonesia pertimbangan dari aspek sosio ekonomis Keuangan Negara yang menempatkan Negara sebagai homo economien, tidaklah serta merta memposisikan Negara sebagaimana layaknya pelaku ekonomis lainnya, yaitu individu. Oleh karena itu, tidaklah pada tempatnya bila berbagai pihak kemudian memaksakan kehendaknya dengan membuat perbandingan status badan usaha milik negara di Indonesia dengan status perusahaan Negara di Negara lain, seperti misalnya, Australia, New Zealland, ataupun Singapura.

Mengingat pemikiran-pemikiran Keuangan Negara, secara prinsip, tidak terlepas dari pemikiran bagaimana usaha pemerintah menyejahterakan rakyatnya, seharusnya masalah inilah yang diurai sebagai landasan perbandingan. Konkritnya, ketika ingin dibuat suatu perbandingan, penelusuran terhadap sistem perekonomian masing-masing Negara harus dilakukan terlebih dahulu. Yaitu, misalnya, apakah suatu Negara menganut perekonomian sistem kapitalis ataukah cenderung menerapkan sistem sosialis. Hal ini perlu dilakukan agar perbandingan dimaksud benar-benar memiliki kesetaraan (apple to apple).


1 comment:

  1. Bila diperhatikan, secara historis, lahirnya berbagai badan usaha milik Negara yang ada hingga saat ini selalu didasarkan pada pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas. Ambil saja contoh, misalnya, badan-badan usaha milik Negara di bidang transportasi, di bidang perminyakan, di bidang tata niaga/ perdagangan, di bidang pengelolaan keuangan, dan masih ada sederet badan usaha milik Negara yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

    Memang harus diakui bahwa di Indonesia pertimbangan dari aspek sosio ekonomis Keuangan Negara yang menempatkan Negara sebagai homo economien, tidaklah serta merta memposisikan Negara sebagaimana layaknya pelaku ekonomis lainnya, yaitu individu. Oleh karena itu, tidaklah pada tempatnya bila berbagai pihak kemudian memaksakan kehendaknya dengan membuat perbandingan status badan usaha milik negara di Indonesia dengan status perusahaan Negara di Negara lain, seperti misalnya, Australia, New Zealland, ataupun Singapura. Perusahaan BUMN Di Indonesia

    ReplyDelete